Aku debu, aku tanah, aku tubuh, aku diaduk, aku ber-roh, aku hidup, aku cari, aku diisi, aku diterangi, aku kembali, aku bersyukur.
Disini aku mulai lagi dengan ketebalan tulisan, dengan usaha untuk mengerti sesuatu yang abstrak bagi ku, namun semua berpola indah saat aku merangkai cerita siapa aku yang sebenarnya. Aku berusaha untuk mengerti arti-ku di bumi, dan mata ini sering memandang untuk mengetahui tentang hal baik, dan juga yang buruk. Dalam memandang aku tahu kita ini debu, dicampur air menjadi tanah, dan bertubuh, sehingga terpikat untuk saling beraduk, karena daging lemah, sedang roh kuat.
Aku berusaha hidup, meski dosa melingkupi ku bagai air bah yang dahsyat, agar upah-ku yaitu maut dimateraikan dalam cara hidup salah dalam memandang, bersikap, dan berbuat. Mata adalah pelita hidup, dan Tuhan terang bagi-ku, dan terang bagi jalan-ku, nanum saat aku yang hidup sebagai domba yang polos, penuh rasa ingin tahu yang terlalu naif, akhirnya memandang buah pengetahuan baik, dan jahat padahal aku sudah diperingati, pada hari aku terpikat, lalu memakannya, maka aku mati. Namun Dia yang berkuasa memang beruntung, dalam memandang aku yang hampir terpikat, ditariknya dengan tongkatnya yang melengkung bengkong khas gembala domba yang ingin mengalihkan domba-domba yang berjalan kearah yang sesat, dan berbahaya.
Ya, pada hari ini tepat 14 September 2021, pada waktu menjelang petang, aku yang sedang mencari-cari dengan usaha-ku sendiri. Pergi memandang mata, kesana kemari untuk mencari yang aku inginkan, tapi akhirnya tiba-tiba aku jatuh kesuatu tempat yang tak sakit, tapi aku dicari. Dia yang berkuasa memanggil-ku yang kecil, dari semak belukar, pada pelubang, dan celah bebatuan ; bukan berarti dia tidak tahu, tapi aku disuruh untuk datang, karena domba mengenal GembalaNya yang baik. Akhirnya aku yang sehat, tapi mulai bingung, karena aku tak mengerti kenapa semakin jauh aku dariNya, aku merasa hatiku terasa sakit, begitu dingin, tertusuk jarum beku, padahal diluar suhu sedang hangat, bahkan terik. Begitu hampa rasa dingin, tanpa kehangatan. Begitu sesak, rasa dingin, tanpa ada rangkulan. Begitu sakit, meski tak terkatakan, dan tak terlihat, bila tak ada yang memeluk dengan ucapan yang menyejukan bagai angin perubahan musim dingin menjadi musim semi yang menumbukan tunas-tunas hijau, dan kuncup-kuncup bunga di taman.
Oh, aku iya... Menulis ini bahagia, meski baru saja aku sebenarnya hampir membeku, karena jauh dari Nya yang selama ini memelihara ku. CintaNya yang mengisi-ku, sehingga dalam kegelapan aku diterangi-Nya. Sehingga aku bisa tenang berjalan tanpa takut, sebab kali ini aku tahu jalan kembali yang rata, mudah, dan indah pemandangannya, sebab jalan itu adalah jalan bersyukur terhadap yang telah aku dapatkan, dan tak penasaran atas hal yang tak aku anggap berharga, setelah aku mengetahuinya adalah kesia-sia-an belaka, yang penuh kekosongan, dingin, hampa, serta sangat menyakitkan.
Tuhan, kuatkanlah aku si kecil lemah ini untuk melakukan hal yang seturut kehendak-Mu. Inilah aku buatan tangan-Mu, hendak hidup menurut tuntunan Mu. Amin, Amin, Amin

No comments: